Mengapa Tarian Khas BANTEN itu “Rampak Bedug”?
Rampak bedug pertama kali dimaksudkan untuk menyambut bulan
suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug atau
ngadulag. Tapi karena merupakan suatu kreasi seni yang genial dan mengundang
perhatian penonton, maka seni rampak bedug ini berubah menjadi suatu seni yang
layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial lainnya. Walau para pencetus
dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan
pencipta seni memandang seni rampak bedug sebagai sebuah karya seni yang patut
dihargai.
Tahun 1950-an merupakan awal mula diadakannya pentas rampak
bedug. Pada waktu itu, di Kecamatan Pandeglang pada khususnya, sudah diadakan
pertandingan antar kampung. Sampai tahun 1960 rampak bedug masih merupakan
hiburan rakyat, persis ngabedug. Awalnya rampak bedug berdiri di Kecamatan
Pandeglang. Kemudian seni ini menyebar ke daerah-daerah sekitarnya hingga ke
Kabupaten Serang. Kemudian antara tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu
tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini
dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Rampak bedug kemudian
dikembangkan oleh berempat yaitu : Haji Ilen, Burhata, Juju, dan Rahmat. Dengan
demikian Haji Ilen beserta ketiga bersahabat itulah yang dapat dikatakan
sebagai tokoh seni Rampak bedug. Dari mereka berempat itulah seni rampak bedug
menyebar. Hingga akhir tahun 2002 ini sudah banyak kelompok-kelompok pemain
rampak bedug.
Tempat pembuatan Bedug
terletak di Kampung Parung Sentul Kelurahan Karaton Kecamatan/Kabupaten
Pandeglang. Bedug-bedug yang dibuat
rata-rata panjangnya sekitar 1,5 sampai dengan 2 meter, kulitnya dibuat
dari kulit sapi atau kerbau.
Rampak Bedug berasal dari kata Rampak atau kompak yang
berarti sama, gerakannya sama, pukulannya sama. Asal muasal rampak bedug ini
yaitu pada jaman dahulu ketika masyarakat kampung akan menunaikan ibadah
sholat, sebelum adzan salah seorang dari mereka memukul-mukulkan media yang
bunyinya nyaring dan keras misalnya kentongan sebagai tanda waktu sholat tiba.
Namun ternyata bunyi kentongan ini sering disalah tafsirkan oleh masyarakat
setempat, karena bunyi kentongan ini bisa juga diartikan adanya maling yang
masuk ke kampung. Supaya bisa membedakannya maka diciptakanlah bunyi yang
suaranya tidak menyerupai kentongan namun masih nyaring dan keras yaitu bedug.
Lambat laun, ternyata masyarakat kampung sangat gemar sekali dengan suara dan
pukulan bedug ini, mereka silih berganti menabuh bedug ketika waktu sholat
tiba. Melihat hal tersebut akhirnya mereka mencetuskan suatu ide seni menabuh
bedug dengan banyak orang yaitu rampak bedug, yang kala itu bernama bedug
panjang, bedug yang disusun memanjang yang jumlahnya bisa 20 buah bedug. Jadi
“Rampak Bedug” adalah seni bedug dengan menggunakan waditra berupa “banyak”
bedug dan ditabuh secara “serempak” sehingga menghasilkan irama khas yang enak
didengar. Waditra adalah seni atau kesenian dari budaya jawa. Waditra rampak
bedug terdiri dari : bedug besar, berfungsi sebagai bass yang memberikan rasa
puas ketika mengakhiri suatu bait sya’ir dari lagu. Ting tir, terbuat dari
batang pohon kelapa, berfungsi sebagai penyelaras irama lagu bernuansa
spiritualis (takbiran, shalawatan, marhabaan, dan lain-lain). Anting Caram dan
Anting Karam terbuat dari pohon jambu dan dililiti kulit kendang berfungsi
sebagai pengiring lagu dan tari. Akan tetapi rampak bedug hanya terdapat di
daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya Banten.
Di masa lalu pemain
rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan
banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mungkin demikian
karena seni rampak bedug mempertunjukkan tarian-tarian yang terlihat indah jika
ditampilkan oleh perempuan (selain tentunya laki-laki). Jumlah pemain sekitar
10 orang, laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing
pemain adalah sebagai berikut : pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan
sekaligus kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug, baik pemain
laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari.
Busana yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian
Muslim dan Muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur
kedaerahan. Pemain laki-laki misalnya mengenakan pakaian model pesilat lengkap
dengan sorban khas Banten, tapi warna-warninya menggambarkan kemoderenan:
hijau, ungu, merah, dan lain-lain (bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain
perempuan mengenakan pakaian khas tari-tari tradisional, tapi bercorak
kemoderenan dan relatif religius. Misalnya menggunakan rok panjang bawah lutut
dari bahan batik dengan warna dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana
panjang warna merah jenis celana panjang pesilat. Di luarnya mengenakan kain
merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan dan digunakakan untuk semacam tarian
selendang. Bajunya tangan panjang yang dikeluarkan dan diikat dengan memakai
ikat pinggang besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang
terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
Fungsi Rampak bedug :
1.
Nilai
Religi, yakni menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang
dirancang para ulama pewaris Nabi. Selain menyemarakan Tarawihan juga sebagai
pengiring Takbiran dan Marhabaan.
2.
Nilai
rekreasi/hiburan.
3.
Nilai
ekonomis, yakni suatu karya seni yang layak jual. Masyarakat pengguna sudah
biasa mengundang seniman rampak bedug untuk memeriahkan acara-acara mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar