Pemurnian
Pengetahuan Dari Kepentingan Dalam Filsafat Modern
Dalam sejarah filsafat,
pembersihan teori dari kepentingan itu berlangsung dalam dua jalur. Pada jalur
yang satu, para filsuf yang mengutamakan kemampuan rasio manusia menganggap
bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh melalui rasio manusia sendiri. Pada
jalur lainnya, para filsuf yang mementingkan peranan pengalaman empiris
menganggap bahwa pengetahuan murni semacam itu bisa diperoleh hanya melalui
pengamatan empiris terhadap terhadap objek pengetahuan. Demikianlah sudah sejak
dini tampil dua tokoh besar yang merintis kedua jalur itu. Pada jalur pertama
berdiri Plato yang menekankan peranan intuisi.
Ia beranggapan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang
tidak berubah-ubah, yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan
manusia bersifat apriori, sudah
melekat pada rasio itu sendiri, maka tugas dalam rasionya, yaitu idea-idea.
Untuk itu manusia harus terus-menerus membersihkan pengetahuannya dari unsur
yang berubah-ubah agar dapat menembus hakikat kenyataan atau idea-idea. Para
jalur kedua berdiri Aristoteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Baginya pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan
empiris. Pengetahuan bersifat aposteriori,
maka tugas manusia adalah mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah dan
melakukan abstraksi atas unsur-unsur itu sehingga dari yang particular
diperoleh yang universal. Untuk melakukan abstraksi ini pun manusia harus
membersihkan diri dari unsur-unsur yang berubah-ubah.
Kedua jalur itu
menampakkan diri kembali dalam filsafat modern. Pada jalur pertama tampil aliran
rasionalisme yang dirintis oleh Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes. Pada
jalur yang sama berdiri juga filsuf-filsuf rasionalistis, seperti Malebranche,
Spinoza, Leibniz, dan Wolff. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat
diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat opriori.
Pengetahuan opriori semacam itu
disebut pengetahuan transcendental karena mengatasi pengamatan empiris yang
bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan
transhistoris. Pada jalur lainnya tampil aliran empiris dan para pemikir
seperti Hobbes, Locke, Barkeley, dan Hume berdiri pada jalur ini. Mereka
beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui pengamatan
empiris dan karenanya bersifat aposteriori.
Pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan empiris karena mendasarkan diri
pada pengalaman.
Baik rasionalisme
maupun impiris berusaha keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah.
Rasionalisme memandang teori semacam itu dapat dihasilkan dari pengetahuan apriori dalam bentuk pernyataan logis
dan matematis, sedangkan emiprisme menganggap teori ilmiah semacam itu dapat
diperoleh melalui “evidensi pengamatan indrawi”. Dengan demikian, meskipun pangkal
perolehan pengetahuan keduanya berbeda, keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa
suatu teori murni mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari
dorongan dan kepentingan manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar