Membuat
Pembelajaran Bahasa Daerah Bermakna dan Menarik
Pembelajaran bahasa
daerah hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning getting, tetapi berupa
proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam
diri siswa. Dengan pola itu, siswa tidak
dijejali dengan seperangkat kaidah untuk dimengerti secara kognitif, tetapi
diarahkan untuk pengembangan aspek afektif, sesuai dengan sifat bahasa daerah
pada umumnya yang memiliki karakteristik sama, yaitu penuh akan muatan
afektif.
Pendidikan
afektif seperti dikemukakan oleh Good dan Brophy (1990) meliputi berbagai
aspek, antara lain: emosi, nilai, kepercayaan, dan sikap. Istilah yang digunakan untuk indikator aspek
afektif antara lain apresiasi, keinginan, kepuasan, minat, morivasi, dan
kecintaan. Belajar dari pelaksanaan
pembelajaran muatan lokal kurikulum 1994, seperti dalam kesimpulan
penelitian Suharsimi Arikunta (1996), guru sebagai pelaksana kurang memahami
apa yang ditulis dalam GBPP, dan tanpa keyakinan yang penuh mereka melaksanakan
saja sesuai dengan kemampuan menangkap apa yang dimaksud. Dengan apa yang
tertera dalam GBPP, sesuai dengan kebiasaan mengajar sehari-hari, kebanyakan
guru hanya menjelaskan saja---bukan memahami mengarah pada mencintai (salah
satu aspek afektif), tetapi hanya mengetahui teori yang verbalisrtik (aspek
kognitif saja). Tentu keadaan ini harus
menjadi pengalaman yang berharga untuk pembelajaran bahasa daerah ke depan.
Apalagi kurikulum yang berlaku sekarang Kurikulum KTSP, yang merupakan
implementasi dari kurikulum berbasis kompetensi di mana guru memiliki peluang
yang sangat besar untuk mengembangkan silabus berdasarkan standar isi dan
standar kelulusan.
Pola pembelajaran dengan KBK didasarkan atas
pendekatan kontekstual atau CTL (contextual teaching and learning). Pembelajarn kontekstual sebagai dijelaskan
dalam KTSP (Depdiknas, 2006) adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism),
bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic
assessment). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Untuk
pelaksanaan pembelajaran, dapat digunakan apa yang pernah diusulkan oleh “Tim
Konsultan Kurikulum Muatan Lokal”agar pengajaran muatan lokal mengarah ke
pendidikan afektif. Dalam mengajarkan muatan lokal sebaiknya digunakan
pendekatan “penyatukaitan diri dengan yang dipelajari” (immerison, mencelupkan
diri ke dalamnya). Implementasi dari pendekatan ini, dalam pembelajaran bahasa
daerah, siswa harus dibawa secara langsung dengan cara mencelupkan diri ke
dalamnya secara utuh. Siswa diajak menggunakan bahasa daerah secara langsung untuk
menulis atau mengarang, berbicara, membaca, dan menyimak. Kebiasaan guru berceramah secara panjang
lebar tentang bahasa daerah perlu dihindari,yang diperlukan hanyalah penjelasan seperlunya untuk menggunakan bahasa daerah. Ketika
pembelajaran berbicara misalnya, siswa secara langsung belajar berbicara
(berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan sebaginya), guru
tinggal membetulkan jika ada kesalahan penggunaan. Pembelajaran menulis juga demikian, siswa
diajak menulis atau mengarang secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek,
cerita bebas, atau lainnya). Kita dapat
mencontoh anak-anak keturunan Jawa di Suriname belajar bahasa Jawa dengan
lagu-lagu Jawa. Pengalaman penulis mengamati anak-anak muda di Suriname, ternyata
mereka tertarik belajar bahasa Jawa melalui lagu-lagu Jawa seperti campur sari,
lagu-lagu pop Jawa, panembrama, dan karawitan. Festival lagu-lagu Jawa di
Suriname mampu membangkitkan minat generasi muda keturunan Jawa di Suriname
untuk belajar bahasa Jawa.
Penelitian yang
pernah penulis lakukan di SMP 8 Yogyakarta pada tahun 1999, pembelajaran sastra
wayang dengan mengembangkan aspek-aspek apresiatif siswa dapat meningkatkan
penanaman nilai-nilai pendidikan budi pekerti.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan “penyatukaitan
diri dengan yang dipelajari”. Siswa secara langsung diajak mencelupkan diri
dalam pembelajaran sastra wayang. Siswa diajak menonton pertunjukan wayang
melalui rekaman audio-visual, rekaman audio, bacaan, dan menghadirkan
tokoh-tokoh wayang serta mendiskusikannya