TUNADAKSA
1 Pengertian Tunadaksa
Tunadaksa berasal dari kata
“ Tuna “ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“berarti tubuh. Dalam banyak
literatur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan
tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health
Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini
disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.Sebagai contoh, otak
adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia.Apabila ada sesuatu yang salah pada
otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada
emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak
baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, Menyebabkan retardasi dari
mental (tunagrahita).
Menurut
Sutjihati Somantri, bahwa tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan
atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
Sedangkan menurut
Mohammad Efendi, bahwa tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau
pertumbuhan.
Dan
dipertegas lagi oleh Aqila Smart, bahwa tunadaksa merupakan sebutan halus bagi
orang-orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti
kaki, tangan, atau bentuk tubuh.
Kesimpulannya, jadi anak
tunadaksa adalah manusia yang masih kecil dimana anak tersebut mengalami
gangguan pada anggota tubuhnya baik itu disebabkan oleh penyakit, kecelakaan
atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
2 Faktor Penyebab Anak Tunadaksa
Seperti kondisi ketunaan
yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tuna daksa dapat
terjadi sebelum anak lahir (prenatal), saat kelahiran (neonatal),
dan setelah anak lahir (postnatal).
1. Sebelum
Anak Lahir (prenatal)
Kelainan fungsi anggota
tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau ketika dalam
kandungan diantaranya dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada system syaraf pusat,
faktor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama dalam kandungan adalah:Anoxia
Prenatal hal in disebabkan pemisahan bayi di plasenta, penyakit anemia,
kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abortus, gangguan metabolisme
pada ibu, faktor rhesus.
2. Saat
Kelahiran (neonatal)
Kondisi ketunadaksaan
yang terjadi pada masa kelahiran bayi antara lain: Kesulitan saat persalinan
karena letak bayi sungsang atau pinggul ibu terlalu kecil, pendarahan pada otak
saat kelahiran, kelahiran premature, gangguan pada plasenta yang
dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia.
3. Setelah
Anak Lahir (postnatal)
Kelainan fungsi aggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada
masa setelah lahir, diantaranya: (1) Faktor penyakit seperti meningitis
(radang selaput otak), enchepalis (radang otak), influenza,
dhiptheria, partusis dan lain-lain. (2) Faktor kecelakaan, pertumbuhan
tubuh atau tulang yang tidak sempurna.( Laila,
2012).
3 Klasifikasi
Anak Tunadaksa
Penyandang tuna daksa rata-rata mengalami gangguan
psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta
memisahkan diri dari lingkungannya. Disamping karakteristik tersebut terdapat
problem lain, gangguan taktil dan kinestetik serta gangguan emosi.(Martin &
Hartini, 2012).
Klasifikasi kelainan pada
Tuna Daksa dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian besar, yaitu:
1.
Kelainan
pada sistem cerebral (Cerebral
System)
Penyandang kelainan pada sistem Cerebral , kelainan terletak pada
sistem saraf pusat, seperti Cerebral Palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral
Palsy ditandai adanya kelainan gerak, sikap, atau bentuk tubuh, gangguan
koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang
disebabkan adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak.
Penyandang kelainan pada sitem cerebral dapat diklasifikasikan menurut derajat
kecacatan dan letak kelainan otak dan fungsi gerak.
a.
Menurut
derajat kecacatan:
1.
Ringan,
dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan dapat
menolong diri sendiri.
2.
Sedang,
dengan ciri-ciri: menbutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri dan menggunakan alat-alat khusus.
3.
Berat,
dengan ciri-ciri: membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan tidak
dapat menolong diri sendiri.
b.
Menurut
letak kelainan otak dan fungsi gerak:
1.
Spastik, dengan ciri-ciri seperti ada kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya.
2.
Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid
(kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor
(getaran kecil yang terus menerus pada mata,tangan atau kepala).
3.
Ataxia, adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi.
4.
Jenis
campuran, seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe kelainan
diatas.
c.
Kelainan
pada sistem otot dan rangka (Masculus skeletal System). Golongan anak
tuna daksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama dengan anak normal
dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Klasifikasi anak tuna daksa dalam kelainan sistem otot dan rangka adalah
sebagai berikut:
1.
Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap,
dilihat dari sel-sel yang rusak kelumpuhan polio dapat dibedakan menjadi:
1.
Tipe spinal,
yaitu kelumpuhan pada otot leher,sekat dada, tangan dan kaki.
2.
Tipe bulbeir,
yaitu kelumpuhan sistem motorik pada satu atau lebih saraf tepi, dengan ditandai
adanya gangguan pernafasan.
3.
Tipe bulbispinalis,
yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair.
4.
Enchipalitis biasanya disetai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
kadang kejang-kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya
tidakmeyebabkan gangguan kecerdasan atau
alat indra, akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi)
karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemandekan
anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi, kelainan telapak
kaki yang membengkong ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang keluar dari
dudukannya), lutut melenting kebelakang (genu recorvatum).
2.
Mucle
distrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot
tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan
yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya
dengan keturunan.
3.
Spina
bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang
belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang
dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan, akibatya fungsi
jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus,
yaitu: pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebih. Biasanya
kasus ini di sertai dengan ketuna grahita.
4 Karakteristik
Anak Tunadaksa
Karakteristik anak tunadaksa
yang akan dibahas dalam hal ini adalah
berikut ini.
1.
Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami
kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapatmengikuti
pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksayang mengalami
kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannyaberentang mulai dari
tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990)mengemukakan
bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakanganmental (tunagrahita),
35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya
berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya,P. Seibel (1984:138)
mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat
kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang
kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah. Selain tingkat
kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan
persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena
saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses
persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak
oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan,
serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi terbatas
karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan,
penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi
terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan
pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa
yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi
prestasi akademiknya.
2.
Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep
diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang
lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai
lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan
disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan
jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan
timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri,
kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti
itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh
sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti
sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan
lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem
cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku
atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan
diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya
ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui
indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral
palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal
yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami
kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah
berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya
dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah;
hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons
rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan
kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih
halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.
5 Layanan
Pendidikan Anak Tunadaksa
1.
Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan
timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat
mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Connor (1975) dalam Musyafak Asyari (1995) mengemukakan bahwa dalam
pendidikan anak tunadaksa perlu dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan sebagai
berikut:
a.
Pengembangan Intelektual dan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat
dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah
khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua
pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian
kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan
perkembangan intelektual dan akademiknya.
b. Membantu Perkembangan Fisik
Oleh karena anak tunadaksa mengalami
kecacatan fisik maka dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab
terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis.
Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu,
guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan
dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik
anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak yang
normal.
c. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan
Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru
bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap
kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong
terciptanya interaksi yang harmonis.
d.
Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial yang meliputi kegiatan
kelompok dan kebersamaan nya
perlu dikembangkan
dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab
atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
e.
Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan
kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu
mematangkan moral dan spiritualnya.
f.
Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu
ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan.
g.
Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan
personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya,
membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang
dapat dijadikan bekal hidupnya.
Ketujuh sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual
purpose
(ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah
terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi
anak tunadaksa.
2.
Sistem Pendidikan Anak
Tuna Daksa
Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem
pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.
Pendidikan Integrasi (Terpadu)
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di
Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa
ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak
tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti
pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti
pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa
memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka
memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang
berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk
(1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila
ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut :
1. Penempatan di kelas
reguler
Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
a.
Menyiapkan
lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak
sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun
trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda;
b.
Menyiapkan
program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering
tidak masuk sekolah;
c.
Guru harus
mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah
fisiknya secara langsung; Perlu
mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan
yang lebih parah.
2. Penempatan di ruang sumber
belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari
temannya di kelas reguler karena ia
sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang
datang ke ruang sumber tergantung pada materi pelajaran yang menjadi
ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak
yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal.
Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus
sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas
khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal
(siswa kelas reguler).
b.
Pendidikan Segregasi (Terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak
tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah
menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud,
1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen
berikut:
1.
Landasan,
Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang
dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan
satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran,
lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan
penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di
tingkat nasional dan daerah.
2.
Garis-garis
Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat:
pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran,
pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu,
rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang disarankan.
3.
Pedoman
pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar,
rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman
penilaian kegiatan dan hasil belajar.
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang
adalah sebagai berikut:
1.
TKLB (Taman
Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi
kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama,
Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa,
Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang
diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
2. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya
enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi
kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika,
IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan; program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa
Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
3. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung
sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi
kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan,
Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani
dan Kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak),
program muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
4. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya
tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi
kurikulumnya meliputi program umum sama dengan
tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas
paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha
dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah
satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang
adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar
satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata
pelajaran di SDLB yang tergolong akademik
lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata
pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran
lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan
SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan
lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Pelaksanaan
Pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti
berikut:
a.
Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan
pembelajaran bagi anak tunadaksa, Ronald
L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan
pendidikan di sekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang
diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang
diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya
dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam
merancang suatu program pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.
1.
Membentuk
tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I),
yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah,
orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
2.
Menilai
kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.
3.
Mengembangkan
tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
4.
Merancang
metode dan prosedur pencapaian tujuan
5.
Menentukan
metode dan evaluasi kemajuan
b. Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam
memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut:
1.
Prinsip
multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat
mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak
karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan
multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat
membantu proses pemahaman. .
2.
Prinsip
individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa
titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model
layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model
klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung
memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
c. Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami
gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan
khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi
ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan
anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan
memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak
dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di
ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari, 1995).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung
itu adalah sebagai berikut:
1.
Macam-macam
ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan
kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang
untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi
okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
2.
Jalan masuk
menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa
yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace,
kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
3.
Tangga
sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
4.
Lantai
bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang
tidak licin.
5.
Pintu-pintu
ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup
ke dalam.
6.
Untuk
menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan
lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan ditembok agar anak dapat mandiri
berambulasi.
7.
Pada
beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak
mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah. Kamar mandi/kecil sebaiknya
dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.
8.
Dipasang WC
duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
9.
Kelas
sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan
dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel,
tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk)
agar aman.
6 Rehabilitasi
Anak Tunadaksa
Maksud
rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan
fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu
yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung
pada bagian sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang
tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh terhadap
kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas perkembangannya. Oleh
karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya menitikberatkan
kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa
menurut kebutuhannya antara lain:
a)
Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada
beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi ortopedi,
fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy
atau terapi tugas, pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi,
dan bantuan teknis lainnya.
Ø Operasi
ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak
dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya
kesalahan bentuk atau gerak.
Ø Fisioterapi
adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot
atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan,
latihan keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan
metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy),
penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric
therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui
pemijatan (massage).
Ø Activities
daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan
maksud untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan
menurut keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat
dikaitkan dengan aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan
pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
Ø Occupational
therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan
psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan
kuat dari kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu.
Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain
melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk melatih
kemampuan tangan. Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk
mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki
tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari
kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu
menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk
menambah kepantasan atau keindahan).
Ø Perangkat
ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh
yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint.
Dilihat dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
- Perangkat
yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
- Perangkat
yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.
- Perangkat
yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari alat
tersebut antara lain:
- Menguatkan
dan mengembalikan fungsi.
- Mencegah
agar tidak menimbulkan salah bentuk.
- Pembatasan
gerak.
- Perbaikan
salah bentuk.
b)
Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya
adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan member kesempatan
anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam
rehabilitasi vokasi ini antara lain:
Ø Counseling, adalah
penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau kemauan penderita
tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka tidak memahami
jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.
Ø Revalidasi, merupakan
upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa untuk memperoleh
bimbingan jabatan dan latihan kerja.
Ø Vocasional
guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa
dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
Ø Vocasional
assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang
kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas
keterampilan.
Ø Team work, adalah
kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim rehabilitasi, seperti
kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog, ortopedagog,
dan tenaga ahli lainnya.
Ø Vocasional
training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar
penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
Ø Selective
placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada
jabatan setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
Ø Follow up, adalah
tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa menempati jabatan
pekerjaan.
c)
Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah
rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat mengurangi dampak
psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Pelaksanaan
rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain
dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam
program rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:
- Meminimalkan
dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti
rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan
lain-lain.
- Meningkatkan
kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih
kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab
diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.
Mempersiapkan
mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga dapat
berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau
kelainannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar