A.
KURIKULUM
1.
Pengertian Kurikulum
Kurikulum merupakan acuan pembelajaran dan
pelatihan dalam pendidikan dan/atau pelatihan. Oleh sebab itu, pengembangan
kurikulum melibatkan pemikiran-pemikiran secara filsafati, psikologi, ilmu
pengetahuan, teknologi dan budaya. Landasan filsafat pendidikan menelaah fungsi
kurikulum secara mendalam dan radikal sehingga menemukan sifat yang hakiki (substansive nature) dari kuriulum dalam
pendidikan dan/atau pelatihan. Landasan psikologis menelaah keselarasan antara
perkembangan dan kesiapan mental peserta didik dengan kompleksitas materi
pembelajaran sehingga proses pembelajaran dan pelatihan menghasilkan pengalaman
yang bermanfaat selaras dengan cita-cita peserta didik. Sementara ilmu
pengetahuan, teknologi dan budaya merupakan sumber-sumber materi pembelajaran
yang perlu diatur penyampaiannya, baik pada arah horizontal (cakupan, scopes) maupun pada arah vertical
(kontinuitas, sekuens) agar dapat
menumbuhkan kemampuan menalar dengan wawasan yang luas dan mendalam.
2. Fungsi Kurikulum dalam Pendidikan
Kurikulum merupakan acuan pembelajaran dan
pelatihan dalam pendididkan dan/atau pelatihan. Dalam masyarakat, baik di
negara-negara maju maupun yang sedang berkembang terdapat kepercayaan bahwa,
pendidikan merupakan sarana pencerahan bangsa serta kesadaran adanya hubungan
antara pendidikan dengan kemajuan suatu negara. Peserta didik dewasa ini
dihadapkan pada produk-produk teknologiyang merangsang minat untuk
menguasainya, namun di sisi lain mereka belum memiliki prasyarat ilmu untuk
mempelajarinya. Dalam hal ini diperlukan intitusi pendidikan yang disebut
‘sekolah’ sebagai pihak yang diharapkan dapat membantu para peserta didik untuk
mencapai cita-cita mereka.
Nana S. Sukmadinata (1988: 4) mengemukakan
bahwa, “Kurikulum mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan
proses pendidikan.” Namun makna kurikulum sering diterjemahkan secara dangkal
oleh pengajar sekalipun tanpa upaya untuk memahami arti hakiki dari kurikulum
bagi pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 1, butir 19, kurikulum
didefinisikan sebagai: “…seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk pembelajaran untuk mencapai tujuan
oendidikan tertentu.” Tanpa penjelasan definisi ini tidak menjamin bisa
memberikan pengertian tentang fungsi kurikulum dalam pendidikan. Padahal
apabila dikaji, definisi ini mengungkapkan adanya empat fungsi kurikulum
sebagai berikut.
1)
Kurikulum sebagai rencana. Kurikulum sebagai rencana kegiatan
belajar-mengajar (atau rencana pembelajaran) dikembangkan berdasarkan suatu
tujuan yang ingin diacapai (Taba, dalam Reksoatmodjo, 2010:4). Sebagai suatu
rencana tertulis, kurikulum juga dipandang sebagai dokumen tertulis (Beauchamp,
dalam Reksoatmodjo, 2010:4). Untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan itu,
dalam kurikulum perlu pula ditetapkan kriteria evaluasi (Taba, dalam
Reksoatmodjo, 2010:4).
2)
Kurikulum sebagai pengaturan. Pengaturan dalam kurikulum dapat diartikan
sebagai pengorgasnisasian materi (isi) pelajaran pada arah horizontal dan
vertical. Pengorganisasian pada arah horizontal berkaitan dengan lingkup dan
integrasi, sedangkan pengorganisasian pada arah vertical berkaitan dengan
urutan dan kontinuitas (Zais, dalam Reksoatmodjo, 2010:4). Dalam
pengorganisasian kurikulum, Taba (dalam Reksoatmodjo, 2010:4) mengemukakan
pentingnya memerhatikan dua aspek pembelajaran, yakni, materi apa yang harus
dikuasai serta proses mental apa yang terjadi. Kegagalan membandingkan lingkup
kurikulum dalam kedua aspek itu akan menimbulkan dilemma yang berkenaan dengan
luas (dimensi horizontal) dan kedalaman (dimensi vertikal) . jika lingkup
kurikulum hanya mengutamakan luasnya cakupan materi, maka akan timbul akan
mengakibatkan peserta didik kurang mampu melihat hubungan dengan
mengintegrasikan berbagai mata pelajaran ke dalam struktur kognitifnya. Hal
mana akan membatasikemampuan menalar dan penerapan ilmu dalam pemecahan
masalah. Selanjutnya urutan materi berkaitan dengan kontinuitas kemajuan
belajar pada arah vertical, dimana pada setiap stratum dihadapkan terjadi
proses pengintegrasian.
3)
Kurikulum sebagai cara. Pengorganisasian kurikulum mengisyaratkan
penggunaan metode pembelajaran yang efektif berdasarkan konteks pembelajaran.
Pemilihan metode belajar erat hubungannya dengan sifat materi pembelajaran atau
praktikum tingkat penguasaan yang ingin dicapai. Penggunaan alat peraga akan
meningkatkan pemahaman, metode pemecahan masalah melatih kemampuan menalar,
sedangkan latihan membuiat benda-benda dengan mesin atau peralatan, serta
prosedur kerja yang benar akan meningkatkan keterampilan psikomotor, pemahaman
konsep produktivitas dan mutu.
4)
Kurikulum sebagai pedoman. Kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran harus memiliki kejelasan tentang gagasan-gagasan dan
tujuan yang hendak dicapai melalui penerapan kurikulum. Perumusan tujuan yang
jelas akan meningkatkan efektivitas penerapan kurikulum.
Untuk menempatkan suatu kurikulum pada
kedudukan sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, institusi pendidikan dan
para pengajar harus mampu menerjemahkan definisi tersebut sebagai administrator
pembelajaran. Tanpa dinamisaasi pembelajaran, keberadaan kurikulum akan
terabaikan atau hanya sebagai dokumen resmi yang akan ditunjukkan kepada para
assessor pada saat akreditasi.
3. Penilaian Kurikulum
Penilitian atas sebuah kurikulum lengkap
merupakan kegiatan yang kompleks dan memerlukan waktu lama. Oleh sebab itu
penilaian cenderung difokuskan pada program dan materi kurikulum. Walaupun
program dan materi kurikulum erat hubungannya, penilaian atas keduanya
mengambil focus yang berbeda. Program yang dapat dipandang sinonim dengan
kurikulum; oleh sebab itu harus berdasarkan pada logika, penilaiannya
difokuskan aspek-aspek formal dari program pendidikan atau bidang pembelajaran
tertentu, misalnya pertanian, geografi, kebidanan, dan lain-lain. Sementara materi
kurikulum difokuskan pada materi pembelajaran misalnya modul, buku teks, atau
paket-paket multimedia yang disiapkan agar dapat difasilitasikan oleh seorang
guru atau instruktur.
Penilaian atas suatu program dilakukan dengan
pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
difokuskan pada pencapaian suatu hasil tertentu, kriteria, atau tujuan yang
terukur; sementara pendekatan kualitatif lebih difokus pada proses dan lebih
bersifat deskriptif. Keputusan untuk menggunakan pendekatan kuantitatif atau
kualitatif sangat tergantung pada filosofi dan kepakaran penilai. Pilihan
terbaik adalah yang didasarkan pada potensi faedah maksimum dibandingkan pada
perspektif personal.
4. Penilaian Materi Kurikulum
Pada saat membahas penilaian kurikulum,
adlaah penting untukmembedakan dua tingkat penilaian, yakni penilaian formatif
dan sumatif. Penilaian formatif digunakan untuk penyempurnaan materi pada saat
memformulasikan dan pengembangan. Kegiatan ini lazimnya dilakukan oleh
oengembang kurikulum yang telah mengenal cakupan materi. Sedangkan penilaian
sumatif mencakup pengkajian dampak penggunaan keseluruhan materi berupa
perubahan perilaku dan kesanggupan.
Penilaian atas materi kurikulum difokuskan
pada mutu materi dengan jalan menggali informasi yang berkaitan dengan
dimensi-dimensi efektivitas, efisiensi, tingkat kegunaan, kepraktisan, dan
cakupan materi yang diuraikan berikut ini.
a.
Efektivitas. Dimensi, mutu ini berkaitan langsung dengan penilaian atas
dampak pemakaian materikurikulum tertentu.
b.
Efisiensi, penilaian atas efektivitas pemakaian materi kurikulum
berhubungan langsung dengan efisiensi penggunaan waktu dan biaya. Materi
kurikulum mungkin snagat berlaku dalam merubah perilaku peserta didik namun
dengan biaya yang lebih mahal atau
dengan alokasi waktu yang lebih mata. Apabila hal ini yang terjadi, maka para
guru kejuruan cenderung tetap menggunakan materi kurikulum baru lazimnya
dibandingkan dengan materi kurikulum lama pada tingkat efektivitas yang lebih
tinggi tanpa peningkatan waktu dan biaya, atau efektivitas yang sama dengan
penurunan alokasi waktu dan biaya.
c.
Tingkat kegunaan, tingkat kegunaan materi kurikulum berkaitan dengan
penerimaan peserta didik dan guru yang menggunakan ditinjau dari sudut proses
pembelajaran.
d.
Kepraktisan, dimensi kepraktisan ini berkaitan dengan kondisi lingkungan
sekolah, khususnya keterbatasan-keterbatasan yang menghambat penggunaan materi
kurikulum yang dinilai.
5. Model Perkembangan
Kurikulum di Indonesia
a. Kurikulum tahun 1964
Bersifat
tradisonal yaitu pendidikan dan pengajaran dimaksudkan untuk memberi pelajaran
kepada siswa.
b. Kurikulum tahun 1968
Mata
pelajaran PAI yang awalnya masuk dalam pelajaran budi pekerti pada tahun 1968
resmi menjadi mata pelajaran sendiri yakni mata pelajaran PAI karna PKI dibubarkan,
sehingga lebih mengarah kepada Pancasila sebagai dasar Negara RI.
c. Kurikulum tahun 1975
Adanya
kurikulum yang mengajarkan bahwa pembelajran harus memperhatikan lingkungan
yang ada disekitar dimana tempat pembelajaran dilaksanakan. Kurikulum 1975 mulai
mengenal PPSI(Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)
d. Kurikulum tahun 1984
Pola
pembelajaran dua arah yakni siswa ikut aktif dalam mempelajari mata pelajaran
tertentu. Kurikulum 1984 mengenal adanya sistem semester untuk jenjang SMP dan
SMA sedangkan SD catur wulan (cawu).
e. Kurikulum tahun 1994
Ada
pengembangan kurikulum pada tahun 1994 yakni:
1.
Adanya penerapan muatan
lokal
2.
Konsep link dan match
(keterkaitan dan kesepadanan) antara penddikan dengan dunia kerja.
3.
Peningkatan wajib belajar
yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun.
f. Kurikulum tahun 1999
Karena
adanya era reformasi maka Kurikulum 1999 disebut kurikulum suplemen yaitu
adanya pelajaran yang bisa tetap diajarkan dan ada yang tidak yakni pelajaran
P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
g. Kurikulum tahun 2004,
Kurikulum Berbasis Kopetensi (KBK)
Ciri
khusus KBK yakni:
a)
Lebih memgutamakan
kemampuan
b)
Menekankan bantuan alat
c)
Evaluasi lebih menekankan
kepada kemampuan atau percepatan masing-masing siswa.
d)
Berbasis kinerja: lebih
menekankan kinerja.
h. Kurikulum tahun 2006/2007,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
KTSP
memberikan kebebasan pada masing – masing sekolah, KTSP memberikan kebebasan
atau otonomi pada tingkat sekolah. Artinya kepada sekolah dan guru memiliki
keluasan dalam mengembangkan kurikulum secara tepat dan proporsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar