Kamis, 13 Oktober 2016

membuat pembelajaran bahasa daerah bermakna dan menarik



Membuat Pembelajaran Bahasa Daerah Bermakna dan Menarik
Pembelajaran bahasa daerah hendaknya berlangsung tidak sekedar meaning getting, tetapi berupa proses meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa.  Dengan pola itu, siswa tidak dijejali dengan seperangkat kaidah untuk dimengerti secara kognitif, tetapi diarahkan untuk pengembangan aspek afektif, sesuai dengan sifat bahasa daerah pada umumnya yang memiliki karakteristik sama, yaitu penuh akan muatan afektif.  
Pendidikan afektif seperti dikemukakan oleh Good dan Brophy (1990) meliputi berbagai aspek, antara lain: emosi, nilai, kepercayaan, dan sikap.  Istilah yang digunakan untuk indikator aspek afektif antara lain apresiasi, keinginan, kepuasan, minat, morivasi, dan kecintaan.   Belajar dari  pelaksanaan  pembelajaran muatan lokal kurikulum 1994, seperti dalam kesimpulan penelitian Suharsimi Arikunta (1996), guru sebagai pelaksana kurang memahami apa yang ditulis dalam GBPP, dan tanpa keyakinan yang penuh mereka melaksanakan saja sesuai dengan kemampuan menangkap apa yang dimaksud. Dengan apa yang tertera dalam GBPP, sesuai dengan kebiasaan mengajar sehari-hari, kebanyakan guru hanya menjelaskan saja---bukan memahami mengarah pada mencintai (salah satu aspek afektif), tetapi hanya mengetahui teori yang verbalisrtik (aspek kognitif saja).  Tentu keadaan ini harus menjadi pengalaman yang berharga untuk pembelajaran bahasa daerah ke depan. Apalagi kurikulum yang berlaku sekarang Kurikulum KTSP, yang merupakan implementasi dari kurikulum berbasis kompetensi di mana guru memiliki peluang yang sangat besar untuk mengembangkan silabus berdasarkan standar isi dan standar kelulusan. 
 Pola pembelajaran dengan KBK didasarkan atas pendekatan kontekstual atau CTL (contextual teaching and learning).  Pembelajarn kontekstual sebagai dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas, 2006) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.  
Untuk pelaksanaan pembelajaran, dapat digunakan apa yang pernah diusulkan oleh “Tim Konsultan Kurikulum Muatan Lokal”agar pengajaran muatan lokal mengarah ke pendidikan afektif. Dalam mengajarkan muatan lokal sebaiknya digunakan pendekatan “penyatukaitan diri dengan yang dipelajari” (immerison, mencelupkan diri ke dalamnya). Implementasi dari pendekatan ini, dalam pembelajaran bahasa daerah, siswa harus dibawa secara langsung dengan cara mencelupkan diri ke dalamnya secara utuh. Siswa diajak menggunakan bahasa daerah secara langsung untuk menulis atau mengarang, berbicara, membaca, dan menyimak.  Kebiasaan guru berceramah secara panjang lebar tentang bahasa daerah perlu dihindari,yang  diperlukan hanyalah  penjelasan seperlunya untuk  menggunakan bahasa daerah. Ketika pembelajaran berbicara misalnya, siswa secara langsung belajar berbicara (berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan sebaginya), guru tinggal membetulkan jika ada kesalahan penggunaan.  Pembelajaran menulis juga demikian, siswa diajak menulis atau mengarang secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek, cerita bebas, atau lainnya).   Kita dapat mencontoh anak-anak keturunan Jawa di Suriname belajar bahasa Jawa dengan lagu-lagu Jawa. Pengalaman penulis mengamati anak-anak muda di Suriname, ternyata mereka tertarik belajar bahasa Jawa melalui lagu-lagu Jawa seperti campur sari, lagu-lagu pop Jawa, panembrama, dan karawitan. Festival lagu-lagu Jawa di Suriname mampu membangkitkan minat generasi muda keturunan Jawa di Suriname untuk belajar bahasa Jawa.  
Penelitian yang pernah penulis lakukan di SMP 8 Yogyakarta pada tahun 1999, pembelajaran sastra wayang dengan mengembangkan aspek-aspek apresiatif siswa dapat meningkatkan penanaman nilai-nilai pendidikan budi pekerti.  Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan “penyatukaitan diri dengan yang dipelajari”. Siswa secara langsung diajak mencelupkan diri dalam pembelajaran sastra wayang. Siswa diajak menonton pertunjukan wayang melalui rekaman audio-visual, rekaman audio, bacaan, dan menghadirkan tokoh-tokoh wayang serta mendiskusikannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar