Sejarah Pendidikan
Inklusif
Cikal bakal lahirnya pendidikan inklusi bisa
dikatakan berawal dari sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa berasrama
dan institusi berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa
yang tinggal disana mengembangkan suatu pola perilaku yang biasanya ditunjukkan
oleh orang yang kekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup kepasifan, stimulasi
diri, perilaku repetitive stereotip dan kadang-kadang perilaku perusakan diri.
Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah luar biasa berasrama seringkali
tidak merasa betah tinggal dengan keluarga nya di komunitas di rumahnya. Ini
karena setelah bertahun-tahun disegregasikan / dipisahkan, ia dan keluarganya
serta komunitasnya akan tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.
Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa
situasi tersebut tidak benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai
kesadaran politik pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan
hak anak serta orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan
utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebiah
lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya
interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. Ini merupakan
awal pembaharuan menuju normalisasi yang akhirnya mengarah pada proses inklusi.
Legitimasi awal bagi pelaksanaan pendidikan
inklusi dalam dunia internasional sendiri tertuang dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi pada tahun 1948. Konferensi ini mengemukakan gagasan mengenai
Pendidikan untuk semua (Education for AII/EFA) dimana dinyatakan bahwa
pendidikan dasar harus wajib dan bebas biaya bagi setiap anak. Konferensi dunia
yang khusus membahas EFAkemudian baru diadakan pada tahun 1990 dan
berlangsung di Jomtien, Thailand. Para peserta menyepakati pencapaian tujuan
pendidikan dasar bagi semua anak dan orang dewasa pada tahun 2000. Konferensi
Jomtien merupakan titik awal dari pergerakan yang kuat bagi semua negara untuk
memperkuat komitmen terhadap EFA.
Dalam pergerakan EFA, anak dan orang
dewasa penyandang cacat adalah salah satu kelompok target. Oelh karena itu,
dunia internasional kemudian mengadakan konferensi yang secara khusus membahas
pendidikan kebutuhan khusus. Konferensi ini pertama kali diadakan di Salamanca
pada tahun 1994 dan yang kedua diadakan di Dakar pada tahun 2000. Keduanya
dihadiri oleh Indonesia dalam konferensi dunia Salamanca, pendidikan inklusi
ditetapkan sebagai prinsip dalam memenuhi kebutuhan belajar kelompok-kelompok
yang kurang beruntung, terpinggirkan dan terkucilkan. Upaya-upaya tindak lanjut
bagi pendidikan kebutuhan khusus hingga sekarang diamanatkan kepada UNESCO.
Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya
telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem
pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak
penyandang cacat juga ditempatkan disekolah umum namun mereka harus
menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat
“siap” untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada
anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh
pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri
terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka
sistem dipandang yang bermasalah.
Menurut data Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah
inklusi baik SD,SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang
berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar