Sabtu, 26 November 2016

sejarah pendidikan inklusi



Sejarah Pendidikan Inklusif
Cikal bakal lahirnya pendidikan inklusi bisa dikatakan berawal dari sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa berasrama dan institusi berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa yang tinggal disana mengembangkan suatu pola perilaku yang biasanya ditunjukkan oleh orang yang kekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup kepasifan, stimulasi diri, perilaku repetitive stereotip dan kadang-kadang perilaku perusakan diri. Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah luar biasa berasrama seringkali tidak merasa betah tinggal dengan keluarga nya di komunitas di rumahnya. Ini karena setelah bertahun-tahun disegregasikan / dipisahkan, ia dan keluarganya serta komunitasnya akan tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.
Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa situasi tersebut tidak benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai kesadaran politik pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan hak anak serta orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebiah lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. Ini merupakan awal pembaharuan menuju normalisasi yang akhirnya mengarah pada proses inklusi.
Legitimasi awal bagi pelaksanaan pendidikan inklusi dalam dunia internasional sendiri tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi pada tahun 1948. Konferensi ini mengemukakan gagasan mengenai Pendidikan untuk semua (Education for AII/EFA) dimana dinyatakan bahwa pendidikan dasar harus wajib dan bebas biaya bagi setiap anak. Konferensi dunia yang khusus membahas EFAkemudian baru diadakan pada tahun 1990 dan berlangsung di Jomtien, Thailand. Para peserta menyepakati pencapaian tujuan pendidikan dasar bagi semua anak dan orang dewasa pada tahun 2000. Konferensi Jomtien merupakan titik awal dari pergerakan yang kuat bagi semua negara untuk memperkuat komitmen terhadap EFA.
Dalam pergerakan EFA, anak dan orang dewasa penyandang cacat adalah salah satu kelompok target. Oelh karena itu, dunia internasional kemudian mengadakan konferensi yang secara khusus membahas pendidikan kebutuhan khusus. Konferensi ini pertama kali diadakan di Salamanca pada tahun 1994 dan yang kedua diadakan di Dakar pada tahun 2000. Keduanya dihadiri oleh Indonesia dalam konferensi dunia Salamanca, pendidikan inklusi ditetapkan sebagai prinsip dalam memenuhi kebutuhan belajar kelompok-kelompok yang kurang beruntung, terpinggirkan dan terkucilkan. Upaya-upaya tindak lanjut bagi pendidikan kebutuhan khusus hingga sekarang diamanatkan kepada UNESCO.
Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak penyandang cacat juga ditempatkan disekolah umum namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah.
Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah inklusi baik SD,SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar